SEKOLAH PEDALANGAN WAYANG SASAK | Agar Kita Tak Hilang Jejak

Pergelaran Karya Budaya Menumbuhkan Akar Kebudayaan dalam Diri

wayangsasak      12 Desember 2021 | kliping


Di Negeri Hagia yang terkenal subur dan kaya raya, hiduplah dua kelompok penduduk, yakni kelompok merah dan kelompok hitam. Mereka hidup berdampingan rukun dan damai. Namun kedamaian itu terusik ketika di Bumi Hagia hanya tersisa sebatang pohon, Pohon Kehidupan. Pohon Kehidupan yang seharusnya mereka jaga bersama justru menjadi sumber perpecahan.

Kedua kelompok berebut untuk menguasainya. Mereka sibuk berperang dan tidak memperhatikan, ada raksasa rakus yang mencuri Pohon Kehidupan mereka. Untunglah ada Raden Umar Maye, tokoh arif bijaksana, yang mengingatkan kedua kelompok untuk bekerja sama menyelesaikan segala persoalan, termasuk menjaga pohon terakhir di bumi. Namun, bagaimana caranya mereka dapat mengalahkan raksasa dan mengambil kembali Pohon Kehidupan?

Itulah sekilas jalan cerita pertunjukan Teater Wayang Botol yang dibawakan oleh Sekolah Pedalangan Wayang Sasak di Pekan Kebudayaan Nasional. Untuk melawan raksasa, beberapa penonton anak-anak diajak beraksi di atas panggung. Bersama penduduk Hagia mereka membuat jebakan untuk menangkap raksasa. Misi penyelamatan Pohon Kehidupan pun berhasil. Penonton bersorak dan bertepuk tangan menyambut keberhasilan misi itu.

Di panggung yang sama keesokan harinya, penonton anak-anak kembali dilibatkan ke dalam pertunjukan. Kali ini dalam acara Paman Gery Mendongeng. Gery Puraatmadja, atau biasa disapa Paman Gery, dari Komunitas Nusantara Bertutur, siang itu membawakan dongeng berjudul I Ceker Cipak. I Ceker Cipak merupakan kisah klasik tentang seorang pemuda berbudi luhur yang sudah diceritakan secara turun-temurun di Bali.

Penonton yang sebagian besar adalah anak-anak usia PAUD dan SD diajak untuk menebak nama-nama daerah, hewan, hingga benda yang menjadi bagian dari cerita dongeng. Selain itu, mereka juga diajak untuk bermain peran. Beberapa anak dipanggil ke atas panggung untuk berperan sebagai kucing, anjing, tikus, dan ular. Anak-anak tersebut dengan lincah mengikuti gerakan Paman Gery yang berjalan ke sana dan kemari di atas panggung.

Dilibatkannya anak-anak dalam pertunjukan seni ini bukanlah sekadar demi hiburan semata. Dalam hal ini, para pelaku seni, baik dari Sekolah Pedalangan Sasak maupun Paman Gery, memiliki pandangan serupa, bahwa upaya pemajuan kebudayaan alih-alih menjadi urusan para pelaku atau pemangku kepentingan orang dewasa semata sesungguhnya justru dimulai dari akar kebudayaan itu sendiri, yakni anak-anak.

Anak-anak, menurut Ketua Yayasan Pedalangan Wayang Sasak Abdul Latief Apriaman, merupakan penonton terbesar mereka sejak sekolah didirikan dan melakukan pertunjukan pada tahun 2015. Ia melihat peluang besar dari ketertarikan anak menonton wayang, terlebih ketika anak-anak tersebut dilibatkan dalam jalan cerita. “Wayang itu mesti interaktif,” ujar Abdul Latief.

Salah satu kunci untuk menarik minat anak-anak untuk terlibat dalam aktivitas kebudayaan menurut Abdul Latief adalah dilakukannya upaya-upaya penyesuaian. Dalam pedalangan wayang, penyesuaian tersebut dilakukan misalnya pada bahasa pengantar, durasi pertunjukan, dan lakon cerita. Para pedalang menyadari, jika wayang dikembangkan persis dengan cara-cara yang mereka lakukan seperti zaman dahulu, maka akan sulit berkembang.

Sebagai bahasa pengantar misalnya, dahulu pertunjukan wayang Sasak menggunakan bahasa Kawi, namun, saat ini sudah tidak ada generasi muda di Lombok yang mengerti bahasa tersebut sehingga bahasa yang digunakan sebagai pengantar adalah bahasa Indonesia. Ketika dalam satu tahun terakhir sekolah mengembangkan wayang botol yang terbuat dari botol plastik bekas pun, Abdul Latief melihat ketertarikan anak-anak untuk belajar pedalangan semakin meningkat.

“Dari wayang botol mereka mau belajar wayang kulit, meningkat. “Kapan kita belajar wayang kulit?” Artinya mereka yang meminta bukan kita yang memaksakan. Yang utama suka saja dulu, baru setelah itu belakangan mereka bisa belajar,” ujarnya.

Kemasan, menurut Gery, memang jadi sangat menentukan. Meskipun mengandung pesan yang baik, tetapi disampaikan dengan cara yang membosankan, maka dongeng akan tidak akan mengena pada anak-anak. Menanamkan pengetahuan dan nilai baik sepatutnya disertai pula dengan penyampaian yang relevan dengan dunia anak-anak.

Dalam pedalangan wayang, penyesuaian perlu dilakukan, misalnya pada bahasa pengantar, durasi pertunjukan, dan lakon cerita. Para pedalang menyadari, jika wayang dikembangkan persis dengan cara-cara yang mereka lakukan seperti zaman dahulu, maka akan sulit berkembang.

“Contoh, kalau saya tadi menggunakan bahasa daerah dari Bali dengan lagu Janger mungkin semua anak akan diam. Tapi saya coba menggunakan lagu anak-anak klasik dari A.T. Machmud judulnya Gembira Berkumpul, anak-anak lebih paham,” tutur mantan penyiar radio tersebut. Namun, Gery tetap menyelipkan berbagai unsur dari daerah Bali seperti nama orang, budaya, dan nama tempat.

Bagi anak-anak, dongeng berasal dari kisah nyata atau tidak bukanlah menjadi hal yang terpenting. Ketika pendongeng mampu menyampaikan cerita dan anak-anak langsung memberi respons itulah hal utama. Untuk itu, pendongeng perlu kembali pada sifat dasar kanak-kanak, yaitu bermain. “Salah satu yang banyak pendongeng itu lupa adalah bahwa anak-anak itu sifatnya bermain. Tetaplah anak-anak, walaupun kita akan mengajarkan sesuatu yang agak berat dengan cara bermain, dengan cara yang menyenangkan,” jelas Gery.

Berbagai kegiatan di Pekan Kebudayaan Nasional ini pun menjadi momen yang tepat untuk menumbuhkan akar kebudayaan yang sesungguhnya, yakni anak-anak. Desliana, salah satu pengunjung Pekan Kebudayaan Nasional yang membawa serta putra-putrinya, terkesan dengan ekspresi seni dan budaya yang ditampilkan oleh anak-anak pada pertunjukan Teater Wayang Botol. Baginya pesan budaya dan nasionalisme tersampaikan melalui pertunjukan tersebut.

“Apalagi pemainnya juga meminta bantuan dari anak-anak yang menonton untuk ikut maju ke atas panggung dan berhasil mengikat dan menjatuhkan raksasa yang jahat. Di ujung pertunjukan, anak-anak itu memegang kertas-kertas bergambar, yang saat disatukan ternyata menjadi sebuah peta kepulauan Indonesia,” ujar ibu dari dua orang anak yang masih duduk di bangku PAUD dan kelas 1 SD tersebut. (PPS)

Sumber: https://jendela.kemdikbud.go.id/v2/fokus/detail/pergelaran-karya-budaya-menumbuhkan-akar-kebudayaan-dalam-diri-anak-anak

Share to:

Twitter Facebook Google+ Stumbleupon LinkedIn
kliping | Teater Wayang Botol dan Pesan untuk Bersama-sama Menjaga Bumi

Simposium keenam Jaringan Taman Bumi Asia Pasifik (APGN) 2019 yang berlangsung di Lombok, Nusa Tenggara Barat 31 Agustus-7 September 2019, ditutup dengan pertunjukan Teater Waya ... baca

kliping | Inovatif, Sanggar Anak Semesta Daur Ulang Sampah Plastik Jadi Wayang Edukatif

TrubusNews

Karmin Winarta | 20 Feb 2019  

Trubus.id -- Setiap tanggal 21 Februari diperingati sebagai ... baca

kliping | Rencana Kebijakan "Full Day School" akan Dibatalkan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan akan membatalkan rencana kebijakan perpanjangan jam sekolah dasar dan menengah. Pembatalan ini disambut baik berbagai kalangan. (VOA — li ... baca

kabar | Setiap Tamu Adalah Siswa, Adalah Guru

Nova, Desi, Ina, Farid, Hamdani dan kawan-kawannya sore itu betapa girangnya. Kelas mereka di Sekolah Pedalangan Wayang Sasak (SPWS) , di Desa Sesela, Lombok Barat kedatangan se ... baca

kliping | “Roah Ampenan” Bukti Ampenan Masih Tetap Ampenan

kicknews.today Mataram – Sejak sekitar pukul 20.00 wita alunan suara music etnis kontemporer mulai menggema di kawasan Eks Pelabuhan Kota Tua Ampenan. Sek ... baca

kabar | Labuhan Carik, Petilasan Pertama Wayang Sasak di Lombok

Tak pernah terbayang sebelumnya, para siswa Sekolah Pedalangan Wayang Sasak (SPWS) mendapat kejutan-kejutan dalam perjalanan belajar mereka. Setelah merayakan ulang tahun pertam ... baca


Yayasan Pedalangan Wayang Sasak © 2016
sekolahwayang@gmail.com